Dilansir dari berita di harian Jawa Pos. Bahwasanya Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto tengah mencari ahli medis untuk melakukan eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana pemerkosa 12 bocah, M Aris. Mereka khawatir Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak melakukannya. Hal itu diungkapkan Kepala Kejari Kabupaten Mojokerto Rudy Hartono. Menurut dia, rencana eksekusi tersebut merupakan kewajiban yang harus dijalankan.
"Yang jelas, sikap saya, akan segera melaksanakan putusan. Karena itu wajib," kata Rudy, Sabtu 24 Agustus 2019.
Untuk menerapkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jatim itu, Rudy juga akan berkonsultasi ke atasnya. Sebab, dia juga mengaku belum tahu petunjuk teknis kebiri kimia tersebut. "Saya ini mencari petunjuk dulu," tambah Rudy.
Menurut dia, dokter boleh saja menolak menjalankan putusan pengadilan. Tetapi, eksekusi kebiri kimia merupakan perintah undang-undang.
"Jadi harus dilakukan. Kalau tidak mau menjalankan undang-undang, itu juga pidana," tutur mantan Kajari Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, itu.
Dia mengatakan, dokter semestinya bisa memosisikan diri sebagai korban atau keluarga korban. Sehingga bisa merasakan pedih korban.
Rudy memaparkan, pihaknya sudah memberikan perhatian khusus terhadap kasus tersebut sejak kepolisian melimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU). Selain menjadi kasus kejahatan anak, jumlah korban kebejatan Aris mencapai belasan anak.
Perhatian itu terlihat dari tingginya tuntutan hukuman penjara saat sidang di PN Mojokerto pertengahan April lalu. Saat itu Aris yang duduk di kursi pesakitan dituntut JPU pidana penjara 17 tahun dan denda Rp 100 juta subsider kurungan 6 bulan.
"Padahal, hukuman maksimal kejahatan anak dalam undang-undang hanya 15 tahun. Saya kasih tambahan dua tahun karena mengingat kejahatan pelaku yang sangat besar," jelasnya.
Namun, hakim memberikan penilaian berbeda. Kata Rudy, hakim memberikan hukuman penjara 12 tahun dan hukuman tambahan ke anak tukang las tersebut berupa kebiri kimia. “Saya cuma menuntut 17 tahun. Tanpa kebiri. Jadi, bukan kami yang menuntut hukuman itu. Tetapi, hakim yang menjatuhkan hukuman itu,” ungkapnya.
Aris dijerat kasus pemerkosaan terhadap 12 anak. Selain vonis penjara 12 tahun dan kebiri kimia, warga Mengelo Tengah, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, itu harus membayar denda Rp 100 juta.
Mahkamah Agung (MA) menyebut tidak bisa mengintervensi putusan sanksi kebiri itu saat ini karena belum ada pengajuan banding. “Biasanya putusan belum berkekuatan hukum tetap, kecuali ada putusan MA setelah yang bersangkutan mengajukan banding,” jelas Juru Bicara MA Abdullah kemarin (24/8).
Ada batas untuk pengajuan banding. Jika dalam batas waktu tersebut MA belum menerima pengajuan banding dari yang bersangkutan, putusan dari pengadilan tinggi bisa segera dijalankan. “Nah, untuk pelaksananya memang dari kejaksaan. Karena pengadilan hanya menjatuhkan putusan,” lanjut Abdullah.
Itulah yang kemudian perlu disinkronkan antara penerapan sanksi dari kejaksaan dan dokter sebagai pelaksana hukuman kebiri. Kejaksaan Agung menjelaskan bahwa sanksi kebiri sebelumnya tidak ada dalam tuntutan. “Jadi, tuntutan pokoknya hanya penjara 17 tahun. Kebiri itu tambahannya saja,” jelas Kapuspen Kejagung Mukri tadi malam.
Undang-undang (UU) yang mengatur kebiri kimia sudah disahkan pada Oktober 2016. Pemerintah sebenarnya tengah menyusun peraturan pemerintah (PP) yang nanti menjadi aturan teknis kebiri. Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar mengungkapkan bahwa sekarang masih tahap harmonisasi. “Kamis kemarin (22/8) baru kami bahas lagi,” ujarnya.
Menurut Nahar, PP tersebut dibahas beberapa kementerian di Sekretariat Kabinet (Setkab). Selain PPPA, ada Kemenkes dan Kemensos. “Satu tahun ini selesai,” ucapnya.
Dengan adanya PP itu, nanti jaksa bisa melakukan eksekusi. Termasuk meminta tolong Kemenkes atau Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mengeksekusi hukuman kebiri kimia. Ketika sekarang ada penolakan, menurut Nahar, itu wajar karena belum ada aturan jelas.
Comments